Quo Vadis, Pesantren dan Filsafat?

Judul tulisan ini sedikit terkesan pejoratif dan agak provokatif. Dari logika komparasi sebenarnya pesantren dan filsafat bukanlah dua entitas yang memiliki kesamaan untuk diperbandingkan alias al-qiyās ma`a al-fāriq karena keduanya adalah dua hal yang berbeda. Pesantren merupakan institusi pendidikan keagamaan sementara filsafat adalah sebuah disiplin keilmuan. Namun dalam kenyataan sehari-hari terkadang ditemukan keduanya itu diperbandingkan, dan hasilnya seringkali memang tidak pernah chemistry alias ghairu muwāfiq atawa tidak klop.

Pesantren yang kental dengan aroma Ghazalian-nya di mana seluruh totalitas kehidupan manusia itu selalu diberhadapkan dengan Sang Khaliq sehingga al-akhlāq al-karīmah menjadi ’selubung’ utamanya. Dalam berfikir, bertindak ataupun dalam keadaan tidur manusia tidak boleh lepas dari akhlak. Bahkan ketika meninggalpun manusia dituntut untuk tetap menjaga al-akhlāq al-karīmah. Suatu pengamalan yang sangat kuat dan konsisten terhadap pesan Rasulullah SAW buistu liutammima makārimal akhlāq.

Sementara filsafat identik dengan Marxian atau Cartesian di mana manusia memiliki otoritas mutlak atas dirinya dalam mengelola hidupnya dan juga kehidupan dunia ini. Manusia dengan nalar atau rasio yang dimiliki adalah penguasa dan pemilik tunggal dari hidup dan kehidupan ini. Ia berhak dan memang seharusnya untuk memaksimalkan kinerja otak guna terwujudnya kehidupan yang damai dan sejahtera. Kedamaian dan kesejahteraan adalah wujud dari hasil olah nalar manusia. Demikian pula, terjadinya bencana alam, kemiskinan, kebodohan, global warming, penjajahan, penindasan, kedzaliman dan seluruh wujud ketidaknyamanan hidup dan kehidupan di dunia ini juga buah dari rasio manusia. Tidak ada peran tuhan. Kalau toh pun ada, tuhan sekedar ’bertugas’ menciptakan dunia dan isinya, setelah itu ia ”pensiun” alias ”mati”, The God is dead.

Itulah gambaran yang menyeruak dalam benak banyak orang ketika mendengar pesantren dan filsafat. Dua hal yang bertolak belakang dan tidak mungkin bertemu walau sampai kiamat (?!?) Benarkah demikian?

Sebenarnya akhlak dan rasio bukan dua hal yang bertentangan atau untuk dipertentangkan. Akhlak dan rasio memiliki dimensi yang berbeda. Dan, keduanya justru bisa menjadi kekuatan yang dahsyat bila ’diracik’ dan ’diramu’ dengan komposisi yang tepat, why not? Dalam perspektif ngélmu otak-atik-katuk, sebenarnya ada persamaan antara pesantren dengan filsafat. Pesantren terdiri atas tiga elemen utama, kiai, santri dan masjid. Sementara filsafat dibangun atas tiga pilar pokok, ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Kiai sebagai fondasi ontologisnya, santri sebagai kerangka epistemologisnya sementara aksiologisnya berupa masjid. Kiai sebagai basis fundamental dari seluruh bangunan keilmuan pesantren, sedang santri sebagai wujud dari aktualisasi kerangka keilmuan dan nalar pesantren. Sementara masjid harus dikembalikan pada fungsi awalnya, bukan masjid dalam konteks saat ini yang sudah mengarah pada unsur “tafakhur bil abna” dengan kemasan estetika. Masjid dalam fungsi awalnya sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah. Masjid yang punya nilai kontributif positif dan maksimal sebagai pusat dari terjadinya proses kohesi sosial yang efektif dalam melahirkan nilai-nilai solidaritas ummatan wāhidah. Sebuah peradaban kemanusiaan yang rahmatan lil ālamīn. Lebih dari itu, bukankah tujuan pesantren adalah mendidik dan melatih (tirākat wa riyādlah) para santrinya agar mengenal siapa dirinya, karena dengan mengenal dirinya dia akan mengenal tuhannya, man `arafa nafsah faqad `arafa rabbah?

Sementara filsafat juga memiliki tujuan mulia, yaitu bagaimana menjadi manusia yang bijak (sophos). Untuk menjadi manusia yang bijak, dia harus tahu dan mengenal terlebih dahulu siapa jati dirinya yang sebenarnya. Dengan mengenal jati dirinya dia akan akan tahu arti keberadaan dirinya, tugas dalam hidupnya dan apa serta kemana tujuan hidupnya, klop kan? So, quo vadis Pesantren dan Filsafat ke depan? Demikian, semoga bermanfaat.