LPM PPUII Adakan “Talk Show Halal Food” |
Ditulis oleh Samsul Zakaria | |
Saturday, 23 June 2012 | |
Berdasarkan hasil investigasi yang sering ditayangkan di televisi menunjukkan banyaknya makanan yang berbahaya untuk dikonsumsi. Pasalnya, bahan-bahan yang digunakan bukanlah bahan yang seharusnya diperuntukkan untuk makanan. Akhirnya, masyarakat pun khawatir terhadap status hukum dari makanan tersebut, halal atau haram. Berangkat dari latar belakang tersebut, Lembaga Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (LPM PPUII) mengadakan Talk Show bertajuk ‘Halal Food’. Demikian sebagaimana disampaikan Khoirul Fahmi, selaku ketua panitia dalam sambutannya. Bertempat di Aula PPUII, Jumat (22/6/12), Talk Show tersebut menghadirkan dua pembicara yang sudah kompeten di bidangnya. Pertama, Dr. H. Shofiyullah MZ, M.Ag, dosen UIN Sunan Kalijaga. Doktor yang berasal dari Madura ini menekuni disiplin kajian Ushul Fiqh ketika menempuh pendidikan doktoralnya. Kedua, Feris Firdaus, S.Si, M.Sc, peneliti di DPPM UII. Feris adalah seorang peneliti yang sering mendapatkan hibah penelitian dari dikti. Dia juga merupakan alumni Ponpes UII. Acara Talk Show itu sendiri dihadiri oleh santri PPUII dan mahasiswa dari Universitas Sains Islam Malaysia (USIM).
Dalam sambutannya, Ust. H. Muhammad Roy, MA.,selalu pengasuh PPUII, mengapresiasi positif Talk Show malam itu. Beliau mengusulkan pentingnya teknologi canggih dan praktis untuk mendeteksi kehalalan makanan. Sebagai contoh dengan menggunakan laser. Suatu saat sangat mungkin ditemukan laser yang mampu mendeteksi halal tidaknya makanan. Dengan disorotkan, misalnya, maka akan diketahui apakah makanan tersebut halal atau tidak. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama.
Feris Firdaus, S.Si, M.Sc., yang berkesempatan untuk berbicara lebih awal menyoroti problematika makanan halal. Menurutnya –dengan menggunakan bahasa Inggris–, kehalalan makanan sudah menjadi isu internasional. Menurutnya, makanan itu bisa diibaratkan air yang suci mensucikan. Hukum awal semua makanan adalah suci dan halal. Layaknya air, ketika makanan tersebut dicampuri dengan bahan-bahan yang tidak halal maka statusnya akan berubah. Sementara saat ini banyak produk makanan yang karena ingin meraih keuntungan besar menggunakan pengawet dan semacamnya yang sebenarnya tidak sehat dan tidak aman.
Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang sering digunakan juga terbukti banyak yang tidak sehat. Salah satunya sakarin yang dalam bahasa masyarakat disebut sari manis. Dalam hal ini perlu kehatian-hatian dalam memilih makanan. Sebagai tambahan, Feris juga mengungkapkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu hanya berfokus pada keamanan makanan. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) fokusnya adalah aspek normatif, halal-tidaknya makanan yang dimaksudkan.Sebagai komentar, perlu adanya kompromi-mutualistis antara keduanya.
Dr. H. Syofiyullah MZ, M.Ag., sebagai seorang ahli hukum Islam lebih menyoroti aspek fikihnya. Ketika Allah berfirman kepada sekalian manusia, maka Allah memerintahkan untuk memakan makanan yang halal (halālan) dan baik (thayyiban). Sementara, ketika firman-Nya ditujukan kepada orang yang beriman, perintahnya hanya untuk memakan makanan yang baik-baik. Ini menunjukkan bahwa orang yang beriman sudah dianggap mampu mengidentifikasi makanan yang halal. Logisnya, makanan yang halal itu pula yang menjadi pilihannya.
Perlu demarkasi yang jelas antara halal dan thayyib. Halal maknanya adalah makanan yang dikonsumsi tidak terikat dengan hak-hak Adam (al-huqūq al-admiyyah). Maksudnya diperoleh dengan jalan yang baik. Sementara thayyib artinya adalah terbebas dari segenap unsur yang membahayakan (mafsadah). Di akhir paparannya ia menjelaskan bahwa sesuatu yang memabukkan itu bukan semata karena alhokol. Artinya, walaupun minuman itu nir-alkohol namun jika memabukkan maka tetaplah hukumnya haram. Hal itu adalah jawaban beliau atas pernyataan moderator (Samsul Zakaria)tentang adanya produk di Amerika yaitu Wiski yang didesain nir-alkohol. []
|