Category: Sejarah



GambarPada suatu masa di lokasi yang tidak terlalu berjauhan hidup dua orang tokoh agama yang alim dan sangat disegani di masyarakat. Kedua tokoh itu adalah Kyai Hasyim Asy’ari (1875-1947), pendiri organisasi Nahdhatul Ulama dan pengasuh PP. Tebuireng tinggal di dusun Tebuireng desa/kec Diwek kab Jombang Jawa Timur yang masyhur dengan sebutan gelar Hadratusy Syaikh. Sementara satunya adalah Kyai Mohammad Faqih (w 1937/1353) yang berkedudukan di desa Maskumambang Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik Jawa Timur yang terkenal dengan sebutan Kyai Faqih Maskumambang. Kedua tokoh tersebut dikenal memiliki penguasaan dan pengetahuan agama yang luas dan mendalam (mutabahhar). Selain dikenal sebagai faqih, mufassir, muaddib (ahli sastra) dan zahid kyai Hasyim Asy’ari dikenal luas sebagai ulama ahli hadits sedang kyai Faqih dikenal sebagai ulama ahli ilmu falak (astronomi) disamping juga beliau sangat menguasai ilmu fiqih (faqih), tafsir (mufassir), balaghah dan lainnya. Kedua tokoh tersebut juga dikenal produktif melahirkan karya-karya tulis terutama berkaitan bidang keahlian masing-masing, hadits dan ilmu falak.

Suatu hari kyai Faqih berkunjung ke kyai Hasyim di pesantren Tebuireng. Mendengar kabar kalau kyai Faqih hendak silaturrahim ke Tebuireng, Kyai Hasyim memerintahkan pada santri dan seluruh penduduk Tebuireng untuk menyimpan beduk dan kentongan yang ada di masjid dan mushola-mushola. Hal itu dilakukan karena Kyai Hasyim ingin menghormati tamunya, kyai Faqih, yang berpendapat bahwa beduk dan kentongan di masjid dan musholla itu tidak boleh (haram) meski Kyai Hasyim sendiri berpendapat sebaliknya. Demikian pula pada saat Kyai Hasyim hendak membalas kunjungan tersebut ke Gresik, hal yang sama juga dilakukan oleh Kyai Faqih. Kyai Faqih memerintahkan pada santri dan orang kampung untuk meminjam beduk dan kentongan agar diletakkan di masjid dan mushola selama tamunya, Kyai Hasyim, berkunjung ke pesantren Maskumambang. Sungguh suatu contoh yang sangat indah dan menyejukkan.

Suatu tauladan dari tokoh panutan yang saat ini betul-betul dibutuhkan dan dirindukan. Di tengah situasi masyarakat yang semakin tinggi tingkat egoisme ke-aku-annya. Masyarakat yang semakin temperamental. Masyarakat yang pemarah dan mudah terprovokasi. Masyarakat yang hanya melihat kebenaran sebagai hitam putih. Masyarakat yang kebenaran hanya miliknya, keluarganya, golongannya, agamanya, etnisnya dan partainya. Masyarakat yang bertuhan tapi tidak percaya dengan firman Tuhan bahwa keragaman itu juga ciptaan Tuhan.

Akhir-akhir ini perbedaan seolah-olah telah menjadi common enemy, musuh bersama yang harus diberangus dan disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan. Perbedaan seolah menjadi momok yang menakutkan. Perbedaan selalu diidentikkan dengan perpecahan. Perbedaan adalah permusuhan. Masih banyak anggota masyarakat yang belum siap menerima perbedaan. Padahal perbedaan sejatinya adalah bunga-bunga indah penghias kehidupan. Hidup menjadi indah berwarna-warni berkat adanya perbedaan. Perbedaan harusnya tumbuh sebagai spirit penyemangat dalam hidup. Dengan perbedaan itulah hidup menjadi dinamis dan bergairah. Akselerasi peningkatan peradaban kemanusiaan ditata dari tumpukan anak tangga perbedaan pemikiran yang lahir dari aneka produk budaya.

Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim telah menunjukkan pada hambaNya bagaimana indah dan nikmatnya sebuah perbedaan itu. Lihatlah kelima jemari tangan dan kaki. Bisa dibayangkan, andaikan Tuhan menciptakan kelima jari pada tangan dan kaki itu sama tidak berbeda, jempol semua atau kelingking semua, apa yang dirasakan? Bukan saja tidak indah dan tidak enak dipandang, fungsi dan kekuatannya juga pasti berbeda dan berkurang.

Momentum Perubahan

Bulan suci Ramadhan ini seharusnya dijadikan sebagai momentum untuk melakukan perubahan. Karena inti dari ajaran agama ini adalah perubahan.  Dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang salah menjadi benar, dari marah menjadi sabar, dari dusta menjadi jujur, dari dengki menjadi sayang, dari malas menjadi rajin, dari keras dan kekanak-kanakan menjadi lembut bijak dan dewasa. Semua perubahan itu akan terjadi bila ada kesadaran untuk itu. Kesadaran untuk melakukan perubahan. Kesadaran yang lahir dari hasil introspeksi diri (muhasabah).

Perubahan itu niscaya untuk dilakukan kalau menginginkan hidup yang lebih baik dan berkualitas karena Tuhan tidak akan melakukan perubahan selama hambaNya tidak menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh untuk itu, inna Allah la yughayyiru maa bi qaumin hatta yughayyiru maa bi anfusihim.

Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan berkah. Segala amal ibadah yang dilakukan di bulan suci ini bernilai dua kali lipat bahkan lebih dibanding selain Ramadhan. Sepuluh hari pertama Allah menyebarkan rahmatNya pada semua hambaNya yang bergembira dengan datangnya bulan suci ini. Pada sepuluh hari kedua Allah memberikan maghfirahNya pada siapapun yang memohon dan memintaNya. Dan pada sepuluh hari terakhir seperti saat ini, Allah menjanjikan free pass berupa terlepas dan terbebas dari siksa api neraka (‘itqun minan naar) bagi hambaNya yang telah menunjukkan kesungguhan hati dan perbuatan dalam menjalankan ibadah di bulan suci ini (man qama ramadhana imanan wah tisaban ghufira lahu ma taqaddama). Sungguh suatu momentum yang betul-betul sangat rugi bila dilewatkan begitu saja. Karena, tidak ada satupun yang tahu apakah Tuhan masih akan memberikan kesempatan untuk bisa bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang. Bahkan, tidak seorangpun yang bisa menduga apakah besok atau lusa masih bisa menyaksikan matahari terbit dari ufuk timur, wa Allahu a’lam. Semoga penulis dan pembaca yang budiman termasuk dalam golongan hambaNya yang bertakwa yang kelak akan kembali menghadap kehadiratNya dalam keadaan husnul khatimah, amin allahumma amin. Demikian semoga ada manfaatnya.

 

 

PPM. Al-Ashfa Gaten, 19 Ramadhan 1434H


by
Prof. Dr. Gokhan Bacik (Turkey)

What will the future of Islam look like? The crucial question has been keeping both Muslims’ and non-Muslims’ minds busy for quite some time. A deep and worldwide concern about the current situation of Muslims is the key factor that has made this crucial question also a popular one. Concerned by their own situation, Muslims are looking to the future and they want to be hopeful. Despite their current disappointment, very interestingly, there is also almost a worldwide optimism among Muslims that their future will be a better one. This optimism is a direct result of a process that could be called “spatialization of time.” This is definitely a mental process or a mental construction which makes Muslims’ future a special place (topography) where Muslims will have a perfect interpretation and application of Islam. Indeed, belief in such a better future has almost been seen as a substantial part of the Islamic faith itself.

However, the future of Islam as a concept or mental construction is not quite clear. There are two major questions about this mental construction. To begin with, it is not clear what is meant by these words. More, it seems as a sum of several other sub-titles. Secondly, once the content of “the future of Islam” is defined, more critical is the agenda that one should follow to solve the problems that Muslims face today. However, the clarification of the content of the phrase is still useful.

Based on what I have already said, I will now try to explain “the future of Islam” under three major issues:

i. The future of Islam must be perceived in terms of material and non-material development of Muslims. This refers to the quality of Muslim societies in regard to economic welfare, technological progress and as well as democratic standards, and human rights.
ii. The future of Islam must be perceived in terms of proposing and developing a new interpretation of Islamic theology i.e. the foundational texts.
iii. The future of Islam must also be perceived in terms of how Islamic societies would shape their political relations and as well as how Muslims shape their political relations with non-Muslims i.e. Christians, Jews etc.

On the first point, one should confirm that all Muslim societies, notwithstanding some very exceptional cases, have been very adaptive to the material development, technological and scientific advancements of the modern world. Today, several Muslim states such as Turkey and Malaysia stand as the brilliant samples in terms of the daily use of high technology. In fact, Muslims do not have any types of theological or theoretical reservations against technology. In other words, Muslims did not have any problems in importing Western inventions in the scientific and technological areas. However, Muslims had a lot of reservations in importing Western inventions in the social, economic and political realms. After pointing this out, I have to emphasize the fact that the critical aspect of this issue then, is more about internalizing and practicing democracy.

As recently voiced by many Muslim scholars, such as Abdullah an-Naim, Islam does not propose a model of government. In fact, what Islam proposes are values and principles on good governance. The contemporary consensus which underlines that Islam does not propose a fixed model of government is actually very critical. We all remember that in the last century many Islamic actors came out with the idea of various models of Islamic states. For a while, it was argued that there is one fixed model of government in the Qur’an. However, the newly emerging consensus, i.e. there is no fixed model of government in Islam, is not enough in itself. Although Islam does not propose a model of government, it must be clearly understood that Islam is totally against any kind of authoritarian model of government. In other words, in positive sense, the Qur’an does not come with a model of government. However, in negative terms, it proposes a fixed ultimatum on Muslims. Islam never allows authoritarian regimes in any form let it be a parliamentary regime or presidential regime or monarchy. Thus, the new consensus should bring one step forward so far as to argue that any authoritarianism is illicit in Islam. A. Belkeziz reminds us that authoritarianism is in natural clash with the very major purpose of Islam: establishing a faith through individual liberty. While preventing individual liberty, authoritarianism also prevents the establishment of faith/iman. In conclusion, authoritarianism systematically prohibits the emergence of a faith-based society.

However, to consolidate the negative political legacy of Islam, that is to reject all kind of authoritarian tendencies in the name of Qur’an, Muslims should fulfill two other responsibilities: First, Muslims should dismiss the state as an actor of creating a religious orthodoxy. From a historical point of view, since the Caliph Abdulmalik, many political leaders attempted to use state power to create religious orthodoxies. They wanted the state to be the major decider on religious issues which was essentially a non-Islamic strategy. But to a large extent, political actors failed in creating religious orthodoxies through the use of state power until the rise of the Seljuk Empire in the 12th century. As Omid Safi explained in his monumental book the Seljukis successfully made the bureaucratic state power the main mechanism of creating religious truth. The use of state power in creating the religious truth paved the way to the rise of Christian-like idea of religious orthodoxy established by the state power in Islam. Raison d’etat dominated the ijtihad. Worse, the notion of politically established religious orthodoxies was consolidated by contemporary Muslims. Facing the inhuman colonial rules, Muslims came up with the idea of having an independent Muslim state. Indeed, we can not deny the fact that state, law and order are vital for the survival of societies. However, Muslims should get rid of the idea of using the state power to create the Islamic truth. The historical essentialist interpretation of state is thus to be criticized on the Islamic ground. Islamic truth i.e. ijtihad should be created independent of the raison d’etat. This can be possible only in two ways: First, a critical reading of the historical Islamic political literary tradition is a must. We should also read the critical scholars of Islamic history. For instance, it is time to remember Ayn-al Qudat of 12th century, the author of Tahmidat and a colleague of Abu Hamid al Ghazali in the same university, who was critical of the use of state power in establishing religious orthodoxy by Seljuki leaders. Second, Muslims should re-define their relationship with nationalism. Muhammad Ayoob succinctly displayed that Muslims in fact employ a nationalistic interpretation of Islam. It is again another result of the state-obsessed Muslim mind that I have tried to outline above. A careful examination of various Islamic discourses in different Muslim societies be it Turkey or Iran or Egypt can easily exhibit how those Muslims are surrounded by nationalistic tendencies. The separation of Islam and nationalism therefore has to be accomplished. Additionally, nationalism for Muslims has been a secularizing force for the Muslim way of thinking. While Muslims are complaining about moral corruption, and religious laxity, they failed to grasp how nationalism secularized their political mind. The secularization of the Muslim mind led Muslims to perceive the global system through the ultra secular boundaries of nation state which in itself is not an Islamic concept. The consequence of this type of compartmentalization of the Muslims’ minds had serious consequences. The very idea of the nation state further atomized the Muslim world and contributed the insensitivity of Muslims in regards to political or social problems that happen in their neighboring states.

Now let me turn back to the second sub-title that I have underlined previously. It is the future of Islam in terms of proposing and developing a new interpretation of Islamic theology i.e. the foundational or fundamental texts. The official declaration of this conference underlined that it is Muslims not Islam that needs reform. I will not get into the details of this linguistic debate. No matter how we name or explain it, there is a crystal clear fact: As Tariq Ramadan wrote it previously, “we have reached limits and that we are now at a loss”. Therefore, the future of Islam is very connected to the rejuvenation of the Islamic thought now. Worse, further delay on this issue may force people to the direction of practical ijtihad. Practical ijtihad refers to the internalization of various practices without any debate from an Islamic point of view. It is more a result of necessity of daily needs. In this regard, the silence of the ulema/scholars on the issue of ijtihad does not make any sense to the Muslim masses. For instance, we have not succeeded in adapting the fiqh in environmental issues, daily traffic, and the use of the internet. Despite this shortage, Muslim people keep producing waste, use cars and surf on the internet. So, what guides Muslims in those areas? Actually nothing or the practical ijtihad. More than repeating the old-fashioned debates such as the status of woman, it is time now to focus on daily/practical needs of Muslims. For example, can we say that not stopping at the red light in traffic is haram or makruh? In other words, the use of fiqh in everyday life, public sphere is more critical now.

At the macro level, there are two critical facts about this issue: First, a more realistic connection with the previous Islamic literary tradition is required. The legacy of previous Muslim scholars is indeed vital and necessary. However, we should not forget that even the ideas of Abu Hanifa were just doctrines not necessarily one hundred percent binding decrees. Despite this fact, to many Muslims, the past Islamic intellectual tradition more seems like a collection of infallible rules or decrees issued by infallible scholars. A realistic reading of the past Islamic tradition is necessary which is the mixture of both respect and criticism. A Catholic-style infallibility of the Pope doctrine has no place in Islam. We all should accept that the quality of intellectual life in the classical age of Islam was more liberal than our times. A wave of reification perplexed the contemporary Muslim mind. For example, how Taberi, a 9th century Muslim scholar, explained the early debates on the election of Caliph Uthman is absolutely brave even according to the present day Islamic standards. Instead of presenting the election a totally holly process, Taberi reminds the role of tribal and economic factors in Caliph Uthman’s election. Or, how Shahristani of 11th century presented his famous fourth Mukaddima/Introduction in his magnum opus Al Milal val Nihal. Today, it might be very risky to take the same issues from the perspective of Shahristani in several Muslim societies. Or just remember Abu Hamid al Ghazali while writing in his Faysal al-Tafriqa in 12th century that “most of the Christians of Byzantium and the Turks of this age will be covered by God’s mercy.” For Ghazali, a proper, in other words satisfactory, contact is a must for Islamic responsibility. Al Ghazali wrote “these people knew the name of Muhammad but nothing of his character and attributes.”

The second factor is the need for a transnational mechanism for ijtihad. This mechanism will be a great opportunity to bring multiple scholars and diverse opinions in one location. How different Muslims cope with the contemporary problems in an area is indeed a very precious experience and it must be acknowledged for all Muslim communities. The expansion of Islamic Banking and halal foods are two brilliant examples of such transnational mechanisms. Similar attempts are required in the fields of communication, internet, and family law as well as other issues such as sports, environment and education. This type of a transnational mechanism is also strategic for another reason: The lack of highly efficient transnational mechanism among the global Muslim ulema has paved the way for the emergence of the local minded ulema or national ulema profile. Indeed, Islam respects local solutions and trends; however, a global/transnational perspective particularly in fiqh is highly needed for the contemporary global Muslim society. A very related aspect of this mechanism is the inclusion of the informal ulema. Almost all Muslim societies have their official religious establishments in form of public educational institutions or bureaucratic units. Equally important is the role of informal religious orders, jama’as and their leaders. The formation of transnational corridors among Muslim communities should also include these informal religious movements.

Finally, I will comment on the future of Islam in terms of how Islamic societies should shape their political relations and as well as how Muslims should shape their political relations with non-Muslims i.e. Christians, Jews etc. A key question in this vein is the lack of a EU-style transnational organization that would ease the transborder cooperation and contact among Muslims. The traditional Westphalian nation-state model is applied very rigidly among Muslim states. The Organization of Islamic Conference is a key institution in this vein. However, since the OIC does not have a strict membership base, it has not been transformed into an efficient organization. The membership criterion of an international organization directly affects its efficiency. All international organizations aim to create an international regime of rules, norms, principles and procedures. Those regimes, created usually by agreements among the signatory parties, reflect the nature of an international organization’s membership base. To create standards of behavior, any regime must have a disciplining and enforcing mechanism. Indeed, there is a direct relationship between the requirements of being a member of such an organization and an organization’s level of efficiency. For that relationship to become dynamic, a regime’s membership rule must be disciplining, informative, detailed and costly. It is the high costs of regime building that helps existing regimes persist. Loose membership rules – which are, by their nature, unclear – impede the success of the international regime. It is relatively easy to become part of some international organisations, and difficult to accede to others. The EU could be a good example here. The EU evaluates candidate states according to very detailed criteria, such as the Copenhagen criteria or the Maastricht criteria. Those criteria include very specific prerequisites. The membership process is long and difficult: All prospective members must enact legislation in order to bring their domestic laws in line with the body of European law, known as the acquis communnautaire, built up over the history of the Union. The acquis is divided into separate chapters, each dealing with a different policy area.

The analysis of the history of the OIC through the lens of membership regime evidently displays the practical link between effectiveness and strict membership rules. Clearly, the OIC’s membership rule of 1972 was very simple: ‘every Muslim State’ was eligible to join the OIC. In terms of the foregoing discussion, those membership rules were not informative. Besides, the Charter did not stipulate any further requirements of membership, so membership was not costly. Thus, the OIC’s criteria were inclusive, not selective or disciplining. Because of the ease of obtaining membership, the OIC has a total of 57 members today. The OIC in practice did not push candidate states into a difficult membership process and did not ask candidate states to abide by and internalise a complex acquis. Consequently, the Organization failed to assemble homogenous members with shared principles and common ends.

What is the solution? Since the current situation within the Organization is untenable, some radical agendas are not totally improbable. Logically, adding strict objectives and principles such as radical reform agendas into the Charter would be a practical move. For many members, however, such plans are naturally offensive. Countries like Saudi Arabia would never let the OIC become a platform where their regimes are attacked based on principles that they would not agree. Similar fears exist when it comes to economic liberalization or regulations on social policy, since many members have closed political and economic systems. Therefore, adding new objectives to the Charter would not ensure their operational uptake, for though the OIC is a colossus, it is currently an organization without the homogeneity that would enable it to act as a body with a commitment to common principles.

If it were to seriously contemplate reform, the OIC might follow one general and one specific agenda. The general OIC agenda should be to present itself as a useful and well functioning platform. Actually, the OIC has already attracted the attention of major international actors such as the UN, the EU and even the US. These influential actors appear ready to use the OIC as the forum for dialogue with Muslims. Russia’s plans for OIC membership would support such an agenda. Logically, this appears to be the best option for the OIC: Being a significant forum for dialogue with the great global powers is the best status that an organisation without an informative membership rule can aspire to. The specific OIC agenda should be the enabling of the emergence of intra-OIC formations with strict and costly demands upon aspiring members. The grand idealistic framework of the OIC should not be allowed to prevent such functionalist and pragmatist formations. Rather than pursuing unfeasible new projects that involve all 57 member states, new projects should proceed with strict prerequisites brought to bear on member states that are willing to participate in them. Naturally, those that are not equipped to meet these prerequisites, or that are not disposed to meet them, should not be included in such projects. It should be made known that intra-group formations are normal in any large organization. Successful examples can be taken from the EU’s operations. Although it is not officially part of the OIC, the D-8 (Developing Eight) initiative is a proper example. The D-8 Charter is relatively informative, as it underlines that membership will be open to other countries subscribing to the goals, objectives, and principles of the group, and generally, sharing common bonds with it. Indeed, successful intra-organization formations may revitalize the entire OIC as well.

Conclusion

Despite the deep and worldwide concern about the current situation of Muslims, personally I see a bright future for Muslims if they are willing to take the necessary steps to bring about the material and non-material development of Muslims, develop a new interpretation of Islamic theology, and reshape their political relations within and among themselves as well as with the non-Muslims. Islam and Muslims must have something new to say about the new issues and problems that not just Muslims but the whole world is facing. There is no benefit in reinterpreting and reevaluating the older theological debates of traditional fiqh. Islam should be able to respond to new problems, not with the traditionalist orthodox view, but with a new perspective enlightened by the spirit of Islam. This new perspective requires Muslims’ dismissal of the state as an actor of creating a religious orthodoxy. Second, Muslims should re-define their relationship with nationalism. Nationalism, among other things, forces Muslims to become local. Third, a new interpretation of Islamic theology has to be proposed. Therefore, the future of Islam is very connected to the rejuvenation of the Islamic thought. This rejuvenation should happen through a more realistic connection with the previous Islamic literary tradition. The legacy of previous Muslim scholars is indeed vital and necessary. Fourth, a transnational mechanism for ijtihad is desperately needed. This transnational mechanism will be a great opportunity to bring multiple scholars and diverse opinions in one location. Lastly, the OIC must be reformed so that it becomes a well functioning platform for Muslim states to solve their problems, initiate projects and provide cooperation in various fields. Achieving the goals above is a daunting task, but it is not impossible to accomplish if the Muslim world has the will.


Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif

“Ilmu harus bebas dari pertimbangan-pertimbangan politik karena menurut pandangan Islam politik harus tunduk kepada ilmu. Politik mendorong orang untuk bertujuan mencari kemenangan, sedangkan ilmu pengetahuan bertujuan mencari kebenaran” (K.H. Abdul Wahid Hasyim).[1]

Pembuka

Pendapat Kyai Wahid yang baru dikutip ini adalah sesuatu yang ideal dan seharusnya demikian, tetapi dalam kenyataan empirik sering benar berlaku adalah kebalikannya, yaitu politik kekuasaan tidak menghiraukan ilmu dan bahkan memperalat agama. Kyai Wahid benar bahwa politik mendorong manusia untuk mencari kemenangan, sedangkan ilmu untuk mencari kebenaran. Makalah ini akan mencoba melihat dialektika hubungan agama –ilmu tidak kita bahas– dan kekuasaan dalam sejarah kontemporer Indonesia.

Agama dan kekuasaan di Indonesia: sebuah dialektika

Di antara para pendiri bangsa dan negara yang terlibat dalam BPUUPK (Badan Penyelidik Uasaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) tahun 1945, adalah Bung Hatta yang berani berbicara terus terang tentang bagaimana semestinya hubungan agama dan kekuasaan dalam negara Indonesia merdeka di bawah judul “Agama dan Negara.”[2] Dalam pidato itu terasa sekali Bung Hatta menguasai persoalan krusial ini dengan amat baik dalam perspektif keindonesiaan yang diucapkan sekitar dua setengah bulan sebelum proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Semangat pidato Hatta ini terasa kemiripannya dengan pendapat Kyai Wahid di atas. Kira-kira rumusannya begini: hati-hati dengan politik kekuasaan yang sering tidak menghiraukan kebenaran dan moralitas, tetapi sarat dengan nafsu untuk merebut kemenangan untuk berkuasa!

Di kalangan pemeluk agama-agama di Indonesia, yang paling “ribut” membicarakan hubungan agama dan kekuasaan/negara adalah tokoh-tokoh organisasi atau partai Islam. Pemeluk agama-agama lain, khususnya Kristen dan Katolik, sudah tidak lagi bersemangat untuk itu. Barangkali penyebabnya adalah karena di abad-abad pertengahan di Eropa yang mayoritas penganut kedua agama itu sudah menjalani perdebatan sengit yang cukup lama mengenai hubungan negara dan Gereja yang pada akhirnya dimenangkan oleh negara. Dalam tradisi Kristen memang ada diktum: serahkan hak raja kepada raja, hak Tuhan kepada Tuhan. Artinya Gereja tidak boleh mengurus negara, dan negara tidak boleh mencampuri urusan agama. Tetapi Vatikan adalah sebuah negara teokratik yang unik, di dalamnya Paus merangkap sebagai kepala negara. Umat Kristen dan Katolik di dunia umumnya menganut doktrin “pemisahan Gereja dan negara.” Masing-masing entitas punya domainnya masing-masing, sekalipun dalam realitas pelaksanaannya tidak selalu mulus. Dalam sejarah Eropa dikenal juga teori caesarpapism, di mana raja menguasai baik kerajaannya sendiri mau pun Gereja yang berada dalam batas-batas wilayahnya.

Dalam Islam tidak dikenal institusi seperti Gereja. Dengan demikian teori “pemisahan Gereja dan negara” tidak pernah timbul. Namun demikian pada zaman kelasik telah berkembang doktrin-doktrin yang membenarkan sistem kekuasaan absolut, seperti yang dikutip oleh Ibn Taimiyah: “Sultan adalah bayangan Tuhan di muka bumi,”[3] agak mirip dengan konsep dewa-raja dalam tradisi Hindu. Bahkan ada lagi yang lebih dramatis tentang mutlaknya sistem kekuasaan yang diwakili sultan itu: “Enam puluh tahun di bawah sultan yang jahat lebih baik dari pada satu malam tanpa sultan.”[4] Dengan demikian teori-teori politik yang memandang sistem kekuasaan begitu agung, juga tidak aneh dalam sejarah Islam. Tujuannya menurut Ibn Taimyah adalah “untuk menjaga mayoritas umat Islam dan imamnya.”[5] Dalam kritiknya terhadap sikap kompromis total ini, Fazlur Rahman menyatakan keberatan yang serius:

…sebuah pertimbangan yang lebih cermat akan mengatakan bahwa suatu kompromisme dan pasifisme, tidak perduli betapa pun mulia motivasinya, berarti sepenuhnya telah menghancurkan diri sendiri, karena ia menanamkan sikap pasif dan tak acuh, dan kemudian mulculnya rasa curiga yang fatal terhadap pemerintah. Dan inilah yang benar-benar berlaku dalam Islam. Sekiranya untuk menjaga solidaritas komunitas sebagai tujuan jangka jauhnya–memang demikianlah dan semestinya begitu–maka untuk menjamin stabilitas politik, lembaga-lembaga poltik yang memadai haruslah telah diciptakan. Syura misalnya haruslah dikembangkan menjadi suatu organisasi permanen dan efektif. Sayangnya tidak satu pun seperti itu yang dihasilhan.[6]

Selama berabad-abad dunia Islam kosong dari teori politik yang memberdayakan umat sebagai manusia merdeka. Kewajiban mereka adalah taat kepada penguasa. Para ‘ulama umumnya tidak berupaya membangun teori-teori politik yang berangkat dari doktrin egalitarian dalam al-Qur’an.[7]

Kita kembali kepada teori pemisahan agama dan negara yang juga berkembang di Indonesia. Untuk menghadapi perbedaan pendapat dalam BPUUPK, Bung Hatta tampaknya menempuh jalan tengah yang moderat. Menurut Bung Hatta, yang perlu dipisahkan adalah antara urusan negara dan urusan agama, sebab jika tidak demikian, yang akan berlaku adalah agama diperalat negara. Kita kutip selengkapnya: “Kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan antara “agama” dan “negara”, melainkan kita akan mendirikan negara modern diatas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh Negara, maka agama menjadi perkakas negara, dan dengan ini hilang sifatnya yang murni.”[8] Kemudian diteruskan dengan kesimpulan ini: “Urusan Negara urusan kita semua. Urusan agama Islam adalah urusan ummat dan masyarakat Islam semata-mata.”[9] Pendapat Hatta ini jelas tidak disetujui oleh tokoh-tokoh Islam santri dalam BPUUPK, sekalipun dalam cara hidup keseharian Bung Hatta mungkin melebihi seorang santri dalam arti moral, disiplin, dan kejernihan berfikir. Dari sisi inilah tokoh-tokoh Islam sangat menghormati integritas Bung Hatta, sekalipun pandangannya tentang teori kenegaraan belum tentu disetujui.

Selanjutnya jika kita mencoba berfikir dialektis model Hegel dalam membaca hubungan antara agama dan negara (sistem kekuasaan) di Indonesia, maka formulanya adalah sebagai berikut: teori negara sekuler dengan konsep “pemisahan agama dan negara” seperti yang diusulkan oleh kaum nasionalis sebagai tesis, sedangkan anti-tesisnya adalah konsep “persatuan agama dan negara” dalam format negara Islam atau Islam sebagai dasar negara yang dimajukan oleh tokoh-tokoh santri dari berbagai latar belakang, baik dalam BPUUPK mau pun kemudian dalam Majelis Konstituante tahun 1950-an. Dengan Pancasila dalam bentuk Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana Kyai Wahid menjadi salah seorang anggotanya yang berjumlah sembilan itu, sebenarnya sebuah sintesis telah tercapai. Tetapi kesepakatan ini ternyata hanya berusia selama 57 hari, karena dalam pertemuan antara Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam pada 18 Agustus 1945, sila pertama Pancasila yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Bung Hatta mengatakan bahwa di antara tokoh Islam yang hadir dalam pertemuan kilat pada 18 Agustus itu adalah Kyai Wahid, tetapi sumber lain mengatakan bahwa innformasi itu tidak benar, sebab Kyai Wahid ketika itu sedang berada di Jawa Timur.[10]

Dengan perubahan formula pada sila pertama Pancasila tidak berarti bahwa sintesis di atas telah mengalami perubahan secara mendasar, karena atribut “Yang Maha Esa” sebagai ganti anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setidak-tidaknya sedikit menenangkan wakil-wakil golongan santri ketika itu. Tetapi setelah Pemilu 1955 di bawah payung UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) 1950, dalam Majelis Konstituante yang bersidang antara 1956-1959, wakil-wakil kaum santri kembali memperjuangkan agar Islam dijadikan dasar negara berhadapan dengan Pancasila yang diusulkan oleh partai-partai nasionalis dan bahkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).[11] Perjuangan kali ini pun tidak berhasil karena suara wakil-wakil pendukung Pancasila dan pendukung Dasar Islam dalam majelis sama-sama gagal meraih suara terbanyak seperti yang dituntut oleh UUDS. Keadaan inilah kemudian yang membawa Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dengan keputusan kembali kepada UUD 1945, di mana Pancasila tetap sebagai dasar negara. Lagi, untuk menenangkan wakil-wakil Islam dalam konsiderasi dekrit disebutkan pula posisi Piagam Jakarta sebagai berikut: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan Konstitusi tersebuat…”[12]

Sampai dengan era dasawarsa kedua abad ke-21, Pancasila yang kita kenal sekarang tetaplah Pancasila hasil perubahan tanggal 18 Agustus 1945, tetapi UUD 1945 telah mengalami empat kali amendemen dalam tempo dua tahun. Amendemen-amendemen ini telah digugat pula oleh berbagai kalangan karena dinilai tidak mencerminkan ruh Pancasila dan UDD 1945 yang asli. Dalam pada itu di kalangan kecil umat Islam bahkan bergerak lebih ekstrem dengan menolak Pancasila sebagai dasar negara, digantikan oleh dasar Islam dengan semboyan pelaksanaan syari’at Islam, sebagaimana yang dituntut oleh Piagam Jakarta. Bagi arus besar umat Islam Indonesia, dasar Pancasila sudah diterima dengan penuh kesadaran, tetapi mereka tetap prihatin menghadapi kenyataan karena nilai-nilai luhur Pancasila itu belum kunjung membimbing cara kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila malah dikhianati dalam perbuatan.

Posisi saya dalam memandang politik kekuasaan

Pandangan Hatta tentang agama yang sering dijadikan alat oleh negara secara empirik berlaku di mana-mana di muka bumi, tidak perduli agama dan ideologi politik yang dianut oleh pemangku kekuasaan itu. Sepanjang sejarah Islam contoh-contoh tentang penyalahgunaan kekuasaan ini tidak diragukan lagi telah mengisi berita-berita sejarah dalam tempo yang lama. Revolusi yang sedang berlangsung di beberapa negara Arab adalah contoh-contoh mutakhir tentang bagaimana agama sebagai dasar moral sudah lama tidak berfungsi. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan ulama tentang rezim yang sedang berkuasa lebih banyak memberikan legitimasi terhadap kenyataan politik yang ada. Begitu juga para penulis kelasik tidak berupaya untuk membangun teori politik yang lebih dekat kepada cita-cita al-Qur’an mengenai keadilan dan doktrin persamaan. “Tidak ada perubahan dalam teori politik di dunia Islam selama 1000 tahun,” tulis Qamaruddin Khan.[13] Buntut jangka panjangnya sungguh fatal bagi munculnya pemikiran segar dalam teori politik Islam. Dikatakan selanjutnya: “Akibatnya terdapat perlawanan keras terhadap pemikiran segar. Gagasan baru apa pun dipandang bid’ah, sekalipun itu tidak ada sangkut pautnya dengan iman. Semangat penyelidikan bebas yang diproklamasikan al-Qur’an telah diterlantarkan umat Islam. Situasi menyedihkan ini masih sedang bekerja sebagai rintangan besar bagi pemikiran orisinal dalam Islam.”[14]

Kita kembali ke Indonesia tentang hubungan agama dan kekuasaan. Pertanyannya adalah: apakah politik kekuasaan itu selalu kotor? Dalam sejarah kontemporer Indonesia, perdebatan tentang isu ini tidak kurang sengitnya. Pihak yang membela dasar negara sekuler berdalil bahwa politik kekuasaan itu kotor, oleh sebab itu jangan dicampuradukkan dengan agama yang suci. Sebaliknya pihak santri membantah pandangan ini dengan mengatakan justru karena politik kekuasaan itu kotor perlu dikawal oleh ajaran agama yang suci agar praktik kotor itu bisa dicegah, setidak-tidaknya dikurangi. Dalam masalah hubungan agama dan negara sebagai sistem kekuasaan, pandangan al-Ghazali (1058-1111) mungkin baik juga dikutip: “Agama itu dasar, sultan itu pengawal/penjaga.”[15] Artinya agama dijadikan landasan moral agar kekuasaan itu tidak jauh melenceng, sekalipun dalam realitas politik sukar sekali untuk dijalankan. Tetapi setidak-tidaknya acuan moral itu harus ada, apakah itu agama atau fasal-fasal dalam konstitusi.

Penutup

Akhirnya, dengan modal Pancasila sebagai dasar negara, sebenarnya acuan moral dalam sistem kekuasaan kita sudah sangat jelas. Tidak perlu lagi dicari dasar lain. Tetapi yang selalu bermasalah adalah kualitas manusia tuna-moral yang sering berlindung di balik dasar Pancasila itu. Akibatnya adalah bahwa bangsa dan negara ini masih saja berada dalam lingkungan kultur politik kumuh. Kenyataan yang cukup ironis di depan kita adalah ini: para politisi yang mengaku beragama atau mereka yang jarang menyebut agama, kelakuannya rata-rata tidak banyak perbedaan. Inilah tragedi yang dibebankan atas bahu Pancasila yang harus segera dihentikan. Pendapat Kyai Wahid dan Bung Hatta perlu dibaca lagi agar bangsa ini cepat ke luar dari kubangan politik kekuasaan yang kotor yang sarat dosa dan dusta itu.

(Disampaikan di depan Seminar Nasional Pemikiran Politik K.H.A. Wahid Hasyim: “Agama, Politik, dan Kekuasaan”, bertempat di kampus UIN Makassar, 25 Juni 2011)